BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Salah satu
poin yang harus menjadi perhatian pada saat melahirkan adalah air ketuban.
Mengapa? Karena air ketuban yang bermasalah ternyata dapat berakibat buruk bagi
bayi Anda.
Perlu Anda
ketahui bahwa air ketuban dapat mencemari bayi saat dilahirkan. Kondisi ini
dalam bahasa medis dinamakan Meconium Aspiration Syndrome (MAS). Kejadian ini
terjadi saat momen berjuangnya bayi untuk keluar dari rahim ibu.
Di saat
kepala bayi keluar, kemungkinan pada mulut atau hidung bayi terdapat sisa air
ketuban. Cairan ketuban tersebut dapat menimbulkan bahaya pada bayi bila
tertelan, apalagi jika air ketuban telah kadaluarsa saat kehamilan melebihi
usia 40 minggu. Ciri dari ketuban yang telah kadaluarsa biasanya berwarna keruh
hijau, cokelat, bahkan hitam.
Potensi
terjadinya MAS ternyata cukup besar, karena hal ini bisa juga terjadi akibat
janin kekurangan oksigen ketika di dalam rahim. Bisa juga disebabkan sang ibu
memderita diabetes melitus, penyakit jantung atau hipertensi.
Usia kehamilan
yang terus bertambah sangat mempengaruhi komposisi dari cairan ketuban. Apalagi
bertambahnya usia juga membuat aktivitas organ janin semakin besar. Hal ini
menyebabkan jumlah air ketuban mengalami perubahan dari minggu ke minggu, dapat
berkurang atau bertambah.
Biasanya
saat kehamilan memasuki usia 25-26 minggu, volume rata-rata air ketuban 239 ml,
kemudian akan bertambah menjadi + 984 ml saat berada pada usia 33-34 minggu.
Air ketuban pun akan semakin berkurang saat menjelang kelahiran, dengan volume
836 ml.
Walaupun
begitu, air ketuban harus berada pada volume yang cukup supaya dapat menjamin
terpenuhinya nutrisi dan oksigen bagi janin. Salah satu ciri air ketuban yang
seimbang adalah tidak berwarna keruh.
B.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui fungsi dari air ketuban.
2. Untuk
mengetahui mengenai jenis-jenis kelainan air ketuban.
3. Untuk
mengetahui etiologi, komplikasi, diagnosa, dan penatalaksanaan dari kelainan
air ketuban pada kehamilan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kelainan Air Ketuban adalah suatu keadaan dimana
jumlah air ketuban jauh lebih banyak dari normal, biasanya lebih dari 2 liter.
Air ketuban tak bisa dipisahkan dari kehidupan janin.
Mengapa? Ditinjau dari fungsinya, cairan ini sangat penting
untuk melindungi pertumbuhan dan perkembangan janin, yaitu menjadi
bantalan untuk melindungi janin terhadap trauma dari luar, menstabilkan
perubahan suhu, pertukaran cairan, sarana yang memungkinkan janin bergerak
bebas, sampai mengatur tekanan dalam rahim. Tidak hanya itu air ketuban juga
berfungsi melindungi janin dari infeksi.
Air ketuban yang volumenya cukup, tidak berwarna
keruh, berfungsi menjamin kecukupan nutrisi dan oksigen untuk si janin.
Namun sebaliknya, kelebihan atau kekurangan cairan ketuban akan
mengganggu fungsi yang dapat menimbulkan komplikasi pada ibu
ataupun janin.
B. Kondisi Normal
Seiring pertambahan usia
kehamilan, aktivitas organ tubuh janin mempengaruhi komposisi cairan ketuban.
Jumlah air ketuban tidak terus sama dari minggu ke minggu kehamilan. Jumlah itu
pun akan bertambah atau berkurang sesuai perkembangan kehamilan.
Saat usia kehamilan 25-26
minggu, jumlahnya rata-rata 239 ml. Lalu meningkat menjadi ±984 ml pada usia
kehamilan 33-34 minggu dan turun menjadi 836 ml saat janin siap lahir.
C.
Kelainan Air Ketuban
1.
Ketuban
Pecah Dini / Ketuban Pecah Sebelum Waktunya
a.
Definisi
Ada teori yang menghitung berapa jam sebelum in partu,
misalnya 2 atau 4 atau 6 jam sebelum in partu. Ada juga yang menyatakan dalam
ukuran pembukaan serviks pada kala I, misalnya ketuban yang pecah sebelum
pembukaan serviks 3 cm atau 5 cm, dan sebagainya. Prinsipnya adalah ketuban
yang pecah “sebelum waktunya”. Normal selaput ketuban pecah pada akhir kala I
atau awal kala II persalinan. Bisa juga belum pecah sampai saat mengedan,
sehingga kadang perlu dipecahkan (amniotomi).
Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai
pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan. Hal ini dapat terjadi pada akhir
kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan. KPD preterm adalah KPD
sebelum usia kehamilan 37 minggu. KPD yang memanjang adalah KPD yang terjadi
lebih dari 12 jam sebelum waktunya melahirkan.
Kejadian KPD berkisar 5-10% dari semua kelahiran, dan
KPD preterm terjadi 1% dari semua kehamilan. 70% kasus KPD terjadi pada
kehamilan cukup bulan. KPD merupakan penyebab kelahiran prematur sebanyak 30%.
b.
Etiologi
1) Penyebab
dari KPD tidak atau masih belum diketahui secara jelas maka usaha preventif
tidak dapat dilakukan, kecuali dalam usaha menekan infeksi.
2) Adanya
hipermotilitas yang sudah lama terjadi sebelum terjadinya KPD.
3) Selaput
ketuban tipis (kelainanketuban).
4) Infeksi
(amnionitisataukorioamnionitis).
5) Faktor–faktor
lain yang merupakan predisposisi (multipara, malposisi, disproporsi, dan
cervikinkompeten).
6) Ketuban
pecah dini artificial (amniotomi) dimana ketuban dipecahkan terlalu dini.
7) Inkompetensi
serviks : kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada
servik uteri.
8) Infeksi
vagina/serviks.
9) Kehamilan
ganda.
c.
Tanda dan
Gejala
Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban
merembes melalui vagina. Aroma air ketuban berbau manis dan tidak seperti bau
amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat
dan bergaris warna darah. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena
terus diproduksi sampai kelahiran. Tetapi bila Anda duduk atau berdiri, kepala
janin yang sudah terletak di bawah biasanya “mengganjal” atau “menyumbat”
kebocoran untuk sementara.
Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut
jantung janin bertambah cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi.
d.
Diagnosa
Secara klinik diagnosa ketuban pecah dini tidak sukar
dibuat anamnesa pada klien dengan keluarnya air seperti kencing dengan
tanda-tanda yang khas sudah dapat menilai itu mengarah ke ketuban pecah dini.
Untuk menentukan betul tidaknya ketuban pecah dini bisa dilakukan dengan cara :
1) Adanya
cairan yang berisi mekonium (kotoran janin), verniks kaseosa (lemak putih)
rambut lanugo atau (bulu-bulu halus) bila telah terinfeksi bau.
2) Pemeriksaan
inspekulo, lihat dan perhatikan apakah memang air ketuban keluar dari kanalis
servikalis pada bagian yang sudah pecah, atau terdapat cairan ketuban pada
forniks posterior.
3) USG : volume
cairan amnion berkurang/oligohidramnion.
4) Terdapat
infeksi genital (sistemik).
5) Gejala
chorioamnionitis.
6) Maternal : Demam
(dan takikardi), uterine tenderness, cairan amnion yang keruh dan berbau,
leukositosis (peningkatan sel darah putih) meninggi, leukosit esterase (LEA)
meningkat, kultur darah/urin.
7) Fetal :
takikardi, kardiotokografi, profilbiofisik, volume cairan ketuban berkurang.
8) Cairan
amnion : Tes cairan amnion, diantaranya dengan kultur/gram stain, fetal fibronectin,
glukosa, leukosit esterase (LEA) dan sitokin.
Jika terjadi chorioamnionitis maka angka mortalitas
neonatal 4x lebih besar, angka respiratory distress, neonatal sepsis dan
pardarahan intraventrikuler 3x lebih besar.
1) Dilakukan
tes valsava, tes nitrazin dan tes fern.
Normal pH
cairan vagina 4,5-5,5 dan normal pH cairan amnion 7.0-7.5
2) Dilakukan
uji kertas lakmus/nitrazine test .
a) Jadi biru
(basa) : air
ketuban.
b) Jadi merah
(asam) : air kencing
Diagnosa banding
Gejala dan tanda selalu
Ada
|
Gejala dan tanda kadang-
kadang ada
|
Diagnosis
kemungkinan
|
Keluar cairan ketuban
|
-Ketuban pecah tiba-tiba
-Cairan tanpa diintroitus
-Tidak ada his dalam 1 jam
|
Ketuban pecah
dini
|
- Cairan vagina berbau
- Demam/menggigil
- Nyeri perut
|
-Riwayat keluarnya cairan
-Uterus nyeri
-Denyut jantung janin cepat
-Perdarahan pervaginam
Sedikit
|
Amnionitis
|
- Cairan vagina berbau
- Tidak ada riwayat
ketuban pecah
|
-Gatal
-Keputihan
-Nyeri perut
-Perdarahan pervaginam
Sedikit
|
Infeksi Vaginitis
Servicitis
|
Cairan vagina berdarah
|
-Nyeri perut
-Gerakan janin berkurang
-Perdarahan banyak
|
Perdarahan
antepartum
|
Cairan berupa darah
Lendir
|
-Pembukaan servik
-Pendataran servik
-Ada his
|
Awal persalinan
|
e.
Komplikasi
Komplikasi
paling sering terjadi pada KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu adalah sindrom
distress pernapasan, yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir. Risiko infeksi
meningkat pada kejadian KPD. Semua ibu hamil dengan KPD prematur sebaiknya
dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya korioamnionitis (radang pada korion dan
amnion). Selain itu kejadian prolaps atau keluarnya tali pusar dapat terjadi
pada KPD.
Risiko
kecacatan dan kematian janin meningkat pada KPD preterm. Hipoplasia paru
merupakan komplikasi fatal yang terjadi pada KPD preterm. Kejadiannya
mencapai hampir 100% apabila KPD preterm ini terjadi pada usia kehamilan kurang
dari 23 minggu.
1) Pada anak :
a) IUFD.
b) Asfiksia.
c) Prematuritas.
2) Pada ibu
a) Partus lama
dan infeksi.
b) Atonia
uteri.
c) Perdarahan
post partum / infeksi masa nifas.
f.
Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan
ketuban pecah dini tergantung pada umur kehamilan dan tanda infeksi
intrauterine.
2) Pada umumnya
lebih baik untuk membawa semua pasien dengan KPD ke RS dan melahirkan bayi yang
berumur > 37 minggu dalam 24 jam dari pecahnya ketuban untuk memperkecil
resiko infeksi intrauterine.
3) Tindakan
konservatif (mempertahankan kehamilan) diantaranya pemberian antibiotik dan
cegah infeksi (tidak melakukan pemeriksaan dalam), tokolisis, pematangan paru,
amnioinfusi, epitelisasi (vit C dan trace element, masih kontroversi), fetal
and maternal monitoring. Tindakan aktif (terminasi/mengakhiri kehamilan) yaitu
dengan sectio caesarea (SC) atau pun partus pervaginam.
4) Dalam
penetapan langkah penatalaksanaan tindakan yang dilakukan apakah langkah
konservatif ataukah aktif, sebaiknya perlu mempertimbangkan usia kehamilan,
kondisi ibu dan janin, fasilitas perawatan intensif, kondisi, waktu dan tempat
perawatan, fasilitas/kemampuan monitoring, kondisi/status imunologi ibu dan
kemampuan finansial keluarga.
5) Untuk usia
kehamilan <37 minggu dilakukan penanganan konservatif dengan mempertahankan
kehamilan sampai usia kehamilan matur.
6) Untuk usia
kehamilan 37 minggu atau lebih lakukan terminasi dan pemberian profilaksis
streptokokkus grup B. Untuk kehamilan 34-36 minggu lakukan penatalaksanaan sama
halnya dengan aterm.
7) Untuk usia
kehamilan 32-33 minggu lengkap lakukan tindakan konservatif/expectant
management kecuali jika paru-paru sudah matur (maka perlu dilakukan tes
pematangan paru), profilaksis streptokokkus grup B, pemberian kortikosteroid
(belum ada konsensus namun direkomendasikan oleh para ahli), pemberian
antibiotik selama fase laten.
8) Untuk
previable preterm (usia kehamilan 24-31 minggu lengkap) lakukan tindakan
konservatif, pemberian profilaksis streptokokkus grup B, single-course kortikosteroid,
tokolisis (belum ada konsensus) dan pemberian antibiotik selama fase laten
(jika tidak ada kontraindikasi).
9) Untuk non
viable preterm (usia kehamilan <24 minggu), lakukan koseling pasien dan
keluarga, lakukan tindakan konservatif atau induksi persalinan, tidak
direkomendasikan profilaksis streptokokkus grup B dan kortikosteroid, pemberian
antibiotik tidak dianjurkan karena belum ada data untuk pemberian yang lama).
10) Rekomendasi
klinik untuk PROM, yaitu pemberian antibiotik karena periode fase laten yang
panjang, kortikosteroid harus diberikan antara 24-32 minggu (untuk mencegah
terjadinya resiko perdarahan intraventrikuler, respiratory distress syndrome
dan necrotizing examinations),tidak boleh dilakukan digital cervical
examinations jadi pilihannya adalah dengan spekulum, tokolisis untuk jangka
waktu yang lama tidak diindikasikan sedangkan untuk jangka pendek dapat
dipertimbangkan untuk memungkinkan pemberian kortikosteroid, antibiotik dan
transportasi maternal, pemberian kortikosteroid setelah 34 minggu dan pemberian
multiple course tidak direkomendasikan.
11) Pematangan
paru dilakukan dengan pemberian kortikosteroid yaitu deksametason 2×6 mg (2
hari) atau betametason 1×12 mg (2 hari).
12) Agentokolisis
yaitu B2 agonis (terbutalin, ritodrine), calsium antagonis
(nifedipine), prostaglandin sintase inhibitor (indometasin), magnesium sulfat,
oksitosin antagonis (atosiban).
13) Tindakan
epitelisasi masih kotroversial, walaupun vitamin C dan trace element terbukti
berhubungan dengan terjadinya.
14) ketuban
pecah terutama dalam metabolisme kolagen untuk maintenance integritas membran
korio-amniotik, namun tidak terbukti menimbulkan epitelisasi lagi setelah
terjadi PROM.
15) Tindakan
terminasi dilakukan jika terdapat tanda-tanda chorioamnionitis, terdapat
tanda-tanda kompresi tali pusat/janin (fetal distress) dan pertimbangan antara
usia kehamilan, lamanya ketuban pecah dan resiko menunda persalinan.
16) KPD pada
kehamilan < 37 minggu tanpa infeksi, berikan antibiotik eritromisin 3×250
mg, amoksisillin 3×500 mg dan kortikosteroid.
17) KPD pada
kehamilan > 37 minggu tanpa infeksi (ketuban pecah >6 jam) berikan
ampisillin 2×1 gr IV dan penisillin G 4×2 juta IU, jika serviks matang lakukan
induksi persalinan dengan oksitosin, jika serviks tidak matang lakukan SC.
18) KPD dengan
infeksi (kehamilan <37 ataupun > 37 minggu), berikan antibiotik
ampisillin 4×2 gr IV, gentamisin 5 mg/KgBB, jika serviks matang lakukan induksi
persalinan dengan oksitosin, jika serviks tidak matang lakukan SC.
2.
Polihydramnion
atau Hydramnion
a.
Definisi
1) Cairan
amnion >2000 ml pada kehamilan aterm. (Thomas Rabe, 2002: 150).
2) Hidramnion
adalah suatu jumlah cairan amnion yang berlebihan (lebih dari 2000 ml). Normal
volume cairan amnion meningkat secara bertahap selama kehamilan dan mencapai
puncaknya kira-kira 1000 ml antara 34 sampai 36 minggu. (Ben-Zion Taber, 1994:
39).
3) Polihidramnion
(hidramnion) didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana jumlah air ketuban
melebihi 2 liter. Sedangkan secara klinis adalah penumpukan cairan ketuban yang
berlebihan sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman pada pasien.
b.
Klasifikasi
1) Hidramnion
Kronis
Penambahan
air ketuban perlahan-lahan, berangsur-angsur dalam beberapa minggu atau bulan,
dan biasanya terjadi pada kehamilan lanjut.
2) Hidramnion
Akut
Penambahan
air ketuban terjadi sangat tiba-tiba dan cepat dalam beberapa hari. Biasanya
terjadi pada kehamilan muda pada bulan ke-4 atau ke-5 (Sastrawinata Sulaiman,
2004: 39).
c.
Etiologi
1) Mekanisme
terjadi hidramnion hanya sedikit yang diketahui. Secara teori hidramnion
terjadi karena :
a) Produksi air
ketuban bertambah, yang diduga menghasilkan air ketuban adalah epitel amnion,
tetapi air ketuban juga dapat bertambah karena cairan lain masuk ke dalam ruangan
amnion, misalnya air kencing anak atau cairan otak pada anencephalus.
b) Pengaliran
air ketuban terganggu, air ketuban yang telah dibuat dialirkan dan diganti
dengan yang baru. Salah satu jalan pengaliran adalah ditelan oleh janin.
2) Pendapat
ahli yang lain mengatakan hidramnion terjadi karena:
a) Produksi air
jenih berlebih.
b) Ada kelainan
pada janin yang menyebabkan cairan ketuban menumpuk, yaitu hidrocefalus,
astresia saluran cerna, kelainan ginjal dan saluran kencing congenital.
c) Ada
sumbatan/ penyempitan pada janin sehingga dia tidak bias menelan air ketuban.
Alhasil volume ketuban meningkat drastic.
d) Kehamilan
kembar, karena adanya dua janin yang menghasilkan air seni.
e) Ada proses
infeksi.
f) Ada hambatan
pertumbuhan atau kecacatan yang menyangkut system syaraf pusat sehingga fungsi
gerakan menelan mengalami kelumpuhan.
g) Ibu hamil
mengalami diabetes yang tidak terkontrol.
h) Ketidakcocokan/
inkompatibilitas rhesus (Taufan Nugroho, 2010: 3).
Menurut
(Ben-zein Taber, 1994: 231) etiologi dari hidramnion adalah sebagai berikut :
a. Malformasi
janin, seperti defek tabung syaraf, anensefalus, atresia esophagus, atau
fistula dan atresia usus.
b. Patologi
plasenta.
c. Diabetes.
d. Eritroblastosis
fetalis. Apabila seorang wanita Rhesus negatif hamil dan melahirkan anak dari
suami yang Rhesus positif, tidak selalu terjadi imunisasi (sensitisasi terhadap
tubuh ibu untuk membentuk antibodi/ aglutinin). Kemungkinan imunisasi hanya
10%. Hal ini karena,
1) Ketidakmampuan
tubuh ibu membentuk antibodi/ aglutinin.
2) Terdapat
inkompatibilitas golongan darah A, B, O antara ibu dan janin.
Ada 3 bentuk
klinis:
1) Anemia
gravis neonaturum.
2) Icterus
gravis neonaturum.
3) Hydrops
fetalis.
Diagnosis
1) Antepartum
a) Riwayat
kehamilan.
b) Ibu Rhesus
(-).
c) Ayah Rhesus
(+).
d) Coombs test
langsung.
e) Rontgenologi.
f) Amniosintesis.
2) Postpartum
a) Immunologi.
b) Ibu Rhesus
(-).
c) Bayi Rhesus
(+).
d) Coombs test
langsung dan tak langsung pada ibu.
Klinis bayi
:
1) Pucat.
2) Hepatosplenomegali.
3) Kurang
aktif, malas minum.
4) Spasmus
otot, kejang.
5) Dekompensasi
kordis/syok.
Hematologi
bayi :
1) Hemoglobin rendah.
2) Hiperbilirubinemia.
3) Eritoblastosis.
4) Reticulositosis.
Penatalaksanan tergantung pada :
1) Anamnesa
kematian anak sebelumnya.
2) Diagnosis
ante dan post partum.
3) Umur
kehamilan.
4) Beratnya
penderitaan.
Pada janin
dapat diberikan :
1) Tranfusi
intrauterine pada umur kehamilan 26-30 minggu.
2) Jika terjadi
hydrops fetalis tidak dapat diselamatkan (FK. UMY, 2008: 190-191).
d.
Tanda dan
Gejala
Tanda dan
gejala polihidramnion adalah sebagai berikut :
1) Pembesaran
uterus, lingkar abdomen dan tinggi fundus uteri jauh melebihi ukuran yang
diperirakan untuk usia kehamilan.
2) Dinding
uterus tegang sehingga pada auskultasi bunyi detak jantung janin sulit atau
tidak terdengar dan pada palpasi bagian kecil dan besar tubuh janin sulit
ditentukan.
3) Ada thrill
pada cairan uterus.
4) Masalah-masalah
mekanis. Apabila polihidramnion berat, akan timbul dispnea, edema pada vulva
dan ekstremitas bawah; nyeri tekan pada punggung, abdomen dan paha; nyeri ulu
hati, mual dan muntah.
5) Letak janin
sering berubah (letak janin tidak stabil). (Helen Varney, 2006: 634).
e.
Diagnosis
1) Anamnesis
a) Perut lebih
besar dan terasa lebih berat dari biasa.
b) Pada yang
ringan keluhan-keluhan subyektif tidak banyak.
c) Pada yang
akut dan pada pembesaran uterus yang cepat terdapat keluhan-keluhan.
d) Nyeri perut
karena tegangnya uterus mual dan muntah.
e) Oedema pada
tungkai, vulva dan dinding perut.
f) Pada proses
akut dan perut besar sekali, bisa syok, berkerigat dingin, sesak.
2) Inspeksi
a) Kelihatan
perut sangat buncit dan tegang, kulit perut berkilat, retak-retak kulit jelas
dan kadang-kadang umbilikus mendatar.
b) Jika akut,
ibu akan terlihat sesak dan sianosis serta terlihat payah membawa kandungannya.
3) Palpasi
a) Perut tegang
dan nyeri tekan serta terjadi oedema pada dinding perut vulva dan tungkai.
b) Fundus uteri
lebih tinggi dari tuanya kehamilan sesungguhnya.
c) Bagian-bagian
janin sukar dikenali karena banyaknya cairan.
d) Kalau pada
letak kepala, kepala janin bias diraba, maka balloterment jelas sekali. Karena
bebasnya janin bergerak dan kepala tidak terfiksir, maka dapat terjadi
kesalahan-kesalahan letak janin.
4) Auskultasi
Denyut jantung janin tidak terdengar atau jika terdengar sangat halus sekali.
Denyut jantung janin tidak terdengar atau jika terdengar sangat halus sekali.
5) Pemeriksaan
Penunjang
a) Foto Rontgen
1. Nampak
bayangan terselubung kabur karena banyaknya cairan, kadang-kadang banyak janin
tidak jelas.
2. Foto rontgen
pada hidramnion berguna untuk diagnose dan untuk menentukan etiologi, seperti
anomaly congenital (anensefali atau gamelli).
b) Ultrasonografi
1. Banyak ahli
mendefinisikan hidramnion bila index cairan amnion (ICA) melebihi 24-25 cm pada
pemeriksaan USG.
2. Dari
pemeriksaan USG, hidramnion terbagi menjadi :
a. Mild hydramnion (hidramnion ringan), bila kantung amnion mencapai 8-11
cm dalam dimensi vertikal. Insiden sebesar 80% dari semua kasus yang terjadi.
b. Moderate hydramnion (hidramnion sedang), bila kantung amnion mencapai 12-15
cm dalamnya. Insiden sebesar 15%.
c. Severe hydramnion (hidramnion berat), bila janin ditemukan berenang
dengan bebas dalam kantung amnion yang mencapai 16 cm atau lebih besar. Insiden
sebesar 5% .
3. Diagnosa
banding
a. Gemelli
(kembar).
b. Asites
(pengumpulan cairan serosa dalam rongga perut).
c. Kista
ovarium.
d. Kehamilan
dengan tumor.
6) Pemeriksaan
dalam.
Selaput
ketuban teraba tegang dan menonjol walaupun diluar his.
f.
Prognosis
1) Pada janin,
prognosanya agak buruk (mortalitas kurang lebih 50%) terutama karena (Taufan Nugroho,
2010: 7-8):
a) Congenital
anomaly.
b) Prematuritas.
c) Komplikasi
karena kesalahan letak anak, yaitu pada letak lintang atau tali pusat
menumbung.
d) Eritroblastosis.
e) Diabetes
mellitus.
f) Solution
placenta jika ketuban pecah tiba-tiba.
2) Pada ibu :
a) Solutio
placenta.
b) Atonia
uteri.
c) Perdarahan
post partum.
d) Retention
placenta.
e) Syok.
f) Kesalahan-kesalahan
letak janin menyebabkan partus jadi lama dan sukar.
g.
Penatalaksanaan
Terapi
hidramnion dibagi dalam tiga fase (Taufan Nugroho, 2010: 8-9):
1) Waktu hamil
(di BKIA).
a) Hidramnion
ringan jarang diberi terapi klinis, cukup diobservasi dan berikan terapi
simptomatis.
b) Pada
hidramnion yang berat dengan keluhan-keluhan, harus dirawat di rumah sakit
untuk istirahat sempurna.
1. Berikan diet
garam.
2. Obat-obatan
yang dipakai adalah sedative dan obat dieresis.
3. Bila sesak
hebat sekali disertai sianosis dan perut tegang, lakukan fungsi abdominal pada
bawah umbilicus. Dalam satu hari dikeluarkan 500 cc perjam sampai keluhan
berkurang.
4. Jika cairan
dikeluarkan dikhawatirkan terjadi his dan solution placenta, apalagi bila anak
belum viable.
5. Komplikasi
pungsi dapat berupa :
a.Timbul his.
b.Trauma pada janin.
c. Terkenanya
rongga-rongga dalam perut oleh tusukan.
d.Infeksi serta syok, bila sewaktu melakukan aspirasi
keluar darah, umpamanya janin mengenai plasenta, maka pungsi harus dihentikan.
2) Waktu
partus.
a) Bila tidak
ada hal-hal yang mendesak, maka sikap kita menunggu.
b) Bila keluhan
hebat, seperti sesak dan sianosis maka lakukan pungsi transvaginal melalui
serviks bila sudah ada pembukaan. Dengan memakai jarum pungsi tusuklah ketuban
pada beberapa tempat, lalu air ketuban akan keluar pelan-pelan.
c) Bila sewaktu
pemeriksaan dalam, ketuban tiba-tiba pecah, maka untuk menghalangi air ketuban
mengalir keluar dengan deras, masukkan tinju ke dalam vagina sebagai tampon
beberapa lama supaya air ketuban keluar pelan-pelan. Maksud semua ini adalah
supaya tidak terjadi solution placenta, syok karena tiba-tiba perut menjadi
kosong atau perdarahan post partum karena atonia uteri.
3) Post partum.
a) Harus
hati-hati akan terjadinya perdarahan post partum, jadi sebaiknya lakukan
pemeriksaan golongan dan transfuse darah serta sediakan obat uterotronika.
b) Untuk
berjaga-jaga pasanglah infuse untuk pertolongan perdarahan post partum.
c) Jika
perdarahan banyak, dan keadaan ibu setelah partus lemah, maka untuk menghindari
infeksi berikan antibiotika yang cukup.
Pengobatan :
a. Bentuk
kronis : obati penyebab yang mendasarinya (misalnya, diabetes).
b. Bentuk akut
: umumnya membutuhkan persalinan dengan drainase lambat selama 6-8 jam untuk
menghindari solusio plasenta beresiko menginduksi kontraksi. Jika pecah kantong
amnion terjadi didaerak serviks, hati-hati terjadi prolapsus tali pusat.
c. Bentuk
idiopatik : indometasin 3 mg/ kg perhari. (Thomas Rabe, 2002: 150).
h.
Komplikasi
1) Obstruksi
ureterik maternal.
2) Peningkatan
mobilitas janin yang mengakibatkan letak tidak stabil dan malpresentasi.
3) Presentasi
dan prolaps tali pusat.
4) Ketuban
pecah dini.
5) Abrupsio
plasenta saat ketuban pecah.
6) Kelahiran
premature.
7) Peningkatan
insiden seksio cesarean.
8) Perdarahan pasca
partum.
9) Peningkatan
angka kematian perinatal (Diane M. Fraser, 2009: 308).
3.
Oligohidramnion
a.
Definisi
1) Cairan
aminion < 200 ml pada kehamilan aterm (Thomas Rabe, 2002: 150).
2) Suatu
keadaan dimana air ketuban kurang dari normal, yaitu <1/2 liter (Rustam Mochtar,
1998: 251).
3) Jumlah
cairan aminon yang terlalu sedikit (Diane M. Fraser, 2009: 309).
4) Menunjukkan
pengukuran jumlah cairan amnion yang tidak memungkinkan fetus untuk cukup
bergerak inutero (Sylvia Veralls, 1997: 253).
b.
Etiologi
Oligohidramnion kadang terjadi pada kehamilan lebih bulan dan diyakini berkaitan dengan insufisiensi plasenta. Jika fungsi plasenta berkurang, perfusi ke system organ janin juga akan berkurang, termasuk ke ginjal. Penurunan pembentukan urin janin menyebabkan oligohidramnion plasenta (Diane M. Fraser, 2009: 309).
Oligohidramnion kadang terjadi pada kehamilan lebih bulan dan diyakini berkaitan dengan insufisiensi plasenta. Jika fungsi plasenta berkurang, perfusi ke system organ janin juga akan berkurang, termasuk ke ginjal. Penurunan pembentukan urin janin menyebabkan oligohidramnion plasenta (Diane M. Fraser, 2009: 309).
c.
Penyebab
1) Anomaly
congenital (misal; agenesis ginjal, sindrom potter).
2) Penyakit
virus.
3) Intra
Uterine Growth Retardation (IUGR).
4) Insufiensi
uteroplasenta.
5) Pecah
ketuban dini (minggu ke-24 sampai ke-26).
6) Meresponi
indosin sebagai suatu tokolitik.
7) Hipoksia
janin.
8) Aspirasi
mekonium dan cairan yang bercampur mekonium.
9) Sindrom
pascamatur.
d.
Tanda dan
gejala
1) Perut ibu
kelihatan kurang membuncit.
2) “Molding” uterus mengelilingi janin.
3) Denyut
jantung janin sudah terdengar lebih dini dan lebih jelas.
4) Janin dapat
diraba dengan mudah.
5) Tidak ada
efek pantul (ballottement) pada janin.
6) Ibu merasa
nyeri di perut pada setiap gerakan anak.
7) Penambahan
tinggi fundus uteri berlangsung lambat (Helen Varney, 2006: 635).
8) Persalinan
lebih lama dari biasanya.
9) Sewaktu
his/mules akan terasa sakit sekali.
10) Bila ketuban
pecah, air ketuban akan sedikit sekali bahkan tidak ada yang keluar.
11) Sering
berakhir dengan partus prematurus.
e.
Penatalaksanaan
Ibu mungkin akan dibawa ke rumah sakit. Jika pemindahan ultrasound menunjukan adanya agenesis renal, bayi tidak akan bertahan hidup. Pemeriksaan selanjutnya adalah mengenai kemungkinan adanya ketuban pecah dini yang pernah dialami ibu dan tes fungsi plasenta (Diane M. Fraser, 2009: 309).
Ibu mungkin akan dibawa ke rumah sakit. Jika pemindahan ultrasound menunjukan adanya agenesis renal, bayi tidak akan bertahan hidup. Pemeriksaan selanjutnya adalah mengenai kemungkinan adanya ketuban pecah dini yang pernah dialami ibu dan tes fungsi plasenta (Diane M. Fraser, 2009: 309).
4.
Hydrops Fetalis Non Imun
a.
Definisi
Merupakan keadaan dimana terjadi akumulasi cairan ekstraseluler tanpa disertai adanya antibodi yang menyerang antigen sel darah merah dalam sirkulasi. Akumulasi CES ini terjadi dalam jaringan dan rongga serosa.
Merupakan keadaan dimana terjadi akumulasi cairan ekstraseluler tanpa disertai adanya antibodi yang menyerang antigen sel darah merah dalam sirkulasi. Akumulasi CES ini terjadi dalam jaringan dan rongga serosa.
b.
Etiologi
1) Kelainan
kardiovaskuler : aritmia, congestive heart failure.
2) Idiopatik.
3) Kelainan
kromosom : trisomi 21, turner’s syndrome, trisomi 13, 16, 18. Mekanisme
terjadinya karena kelainan kardiovaskuler.
4) Higroma.
5) Kelainan
hematologi : ά thalasemia major yang disertai dengan anemia janin dan cardiac
failure.
6) Kelainan
paru : cystic adenomatoid, hematoma pada dinding dada, hernia diafragma
congenital.
7) Infeksi :
pavovirus, rubella, HIV, toxoplasma, CMV, sifilis.
8) Lain-lain :
kembar, displasia skelet, kelainan gastrointestinal.
c.
Diagnosis
USG adanya
polihidramnion. Kulit edema, ascites, plasenta besar, efusi pleura, dan
kardiomegali. Gejala paling menonjol pada umumnya adalah ascites dan ascites
janin tidak dapat diketahui bila tidak dilakukan USG.
d.
Prognosis
(Komplikasi)
Mortalitas
perinatal sebesar 40-90% tergantung penyebabnya. Bila terdapat kelainan
anatomi, prognosisnya jelek.
e.
Penanganan
Penanganan hydrops fetalis non imun bersifat individual tergantung penyebabnya dan pertimbangan orang tua. Bila kelainan berat dan bayi tidak mungkin hidup, maka dilakukan terminasi kehamilan. Jika bayi diperkitakan mampu hidup, maka penanganannya dilakukan sesuai dengan penyebab dan prognosisnya. Bila diperkirakan janin sudah cukup matang untuk dilahirkan, maka persalinan segera dilakukan. Amniosintesis dilakukan jika hidramnion menyebabkan sesak nafas dan untuk mengurangi risiko premature (FK. UMY, 2008 : 191-192).
Penanganan hydrops fetalis non imun bersifat individual tergantung penyebabnya dan pertimbangan orang tua. Bila kelainan berat dan bayi tidak mungkin hidup, maka dilakukan terminasi kehamilan. Jika bayi diperkitakan mampu hidup, maka penanganannya dilakukan sesuai dengan penyebab dan prognosisnya. Bila diperkirakan janin sudah cukup matang untuk dilahirkan, maka persalinan segera dilakukan. Amniosintesis dilakukan jika hidramnion menyebabkan sesak nafas dan untuk mengurangi risiko premature (FK. UMY, 2008 : 191-192).
D.
Kelainan Korioamnion
1.
Pencemaran
Mekonium
Janin preterm jarang mengeluarkan mekonium, dan mekonium mungkin sulit
dibedakan dari pigmen-pigmen yang berasal dari hemolisis janin. Pengeluaran
mekonium jarang terjadi sebelum minggu ke 38. Dan sebaliknya meningkat setelah
masa gestasi 40 minggu. Pencemaran selaput amnion tampak nyata dalam satu
sampai tiga jam setelah janin mengeluarkan mekonium. Walaupun pajanan yang
lebih lama menyebabkan pencemaran korion, tali pusat, dan desidua, hal ini
tidak dapat di tentukan lamanya secara akurat.
Secara umum, keluarnya mekonium berkaitan dengan meningkatnya morbiditas
dan mortalitas perinatal. Mortalitas neonatus akibat mekonium terutama
disebabkan oleh aspirasi mekonium yang kental dan lengket.
2.
Korioamnionitis
Peradangan selaput janin adalah manifestasi dari suatu infeksi intra
uterus, dan sering disebabkan oleh ketuban pecah lama dan partus lama. Apabila
korion diinfiltrasi oleh leukosit polimorfonuklear dan mononuclear, temuan
mikroskopis yang terjadi menandakan korioamnionitis. Apabila sel-sel tersebut
ditemukan dicairan amnion, temuannya disebut amnionitis. Peradangan tali pusat
disebut funisitis dan infeksi plasenta bermanifestasi sebagai vilitis. Sebelum
minggu ke 20, hampir semua leukosit polimorfonuklear berasal dari ibu, tetapi
selanjutnya respon peradangan terutama berasal dari janin.
Penatalaksanaan korioamnionitis adalah pemberian anti mikroba dan pimpinan
kelahiran yang baik. Korioamnionitis adalah peradangan ketuban biasanya
berkaitan dengan pecah ketuban lama dan persalinan lama. Korioamnionistis
tersamar (“silent”), yang disebabkan oleh beragam organism, baru-baru ini
muncul sebagai salah satu penjelasan kasus-kasus pecah ketuban, persalinan
premature, atau keduanya. Korioamnionitis meningkatkan morbiditas neonates
secara bermakna. Secraa spesifik, sepsis neonates, distress pernafasan,
perdarahan intraventrikel, kejang, leukomalasia periventrikel, dan palsi
serebral lebih sering terjadi pada bayi yang lahir dari ibu dengan
korioamnionitis.
Korioamnionitis secara klinis bermanifestasi sebagai demam pada ibu dengan
suhu 380C atau lebih, biasanya berkaitan dengan pecah ketuban.
Penatalaksanaan korioamnionitis terdiri atas pemberian anti mikroba, anti piretik dan pelahiran janin, sebaiknya melalui vagina. Terapi antibiotic harus dapat memberi perlindungan terhadap lingkungan oleh mikroba yang terdapat di vagina dan servik. Salah satu regimen korioamnionitis adalah ampisilin, 2 gr intravena setiap 6 jam, dan gentamisin, 2 mg/kg dosis awal serta selanjutnya 1,5 mg/kg intravena setiap 8 jam. Lindamisin, 900 mg setiap 8 jam, digunakan untuk wanita yang alergi terhadap penisilin. Berbagai regimen anti mikroba spectrum luas lainnya juga dapat digunakan. Antibiotic biasanya dilanjutkan setelah persalinan sampai wanita yang bersangkutan tidak demam.
Penatalaksanaan korioamnionitis terdiri atas pemberian anti mikroba, anti piretik dan pelahiran janin, sebaiknya melalui vagina. Terapi antibiotic harus dapat memberi perlindungan terhadap lingkungan oleh mikroba yang terdapat di vagina dan servik. Salah satu regimen korioamnionitis adalah ampisilin, 2 gr intravena setiap 6 jam, dan gentamisin, 2 mg/kg dosis awal serta selanjutnya 1,5 mg/kg intravena setiap 8 jam. Lindamisin, 900 mg setiap 8 jam, digunakan untuk wanita yang alergi terhadap penisilin. Berbagai regimen anti mikroba spectrum luas lainnya juga dapat digunakan. Antibiotic biasanya dilanjutkan setelah persalinan sampai wanita yang bersangkutan tidak demam.
3.
Kelainan
Lain
a.
Kista Amnion
Kadang-kadang
terbentuk banyak kista amnion kecil yang dilapisi oleh epitel amnion yang khas.
Hal ini biasanya muncul akibat fusi lipatan-lipatan amnion yang kemudian
diikuti oleh retensi cairan.
b.
Amnionodosum
Adalah
nodus-nodus di amnion yang kadang-kadang disebut metaplasma amnioskuamosa atau
kurunkula amnion. Nodus-nodus ini peling sering dijumpai dibagian amnion yang
berkontak dengan lempeng korion, walupun dapat ditemukan juga di tempat lain.
Nodus-nodus biasanya muncul di dekat insersi tali pusat sebagai elevasi opak
kuning keabu-abuan yanag berkisar dengan diameter 1 sampai 5 mm. nodus-nodus
terdiri dari debris ectoderm janin, termasuk fernik kaseosa disertai rambut,
skuama, dan sebum. Kelainan ini berkaitan dengan oligohidramnion dan paling
sering dijumpai pada janin dengan agenesis ginjal atau ketuban pecah dini
berkepanjangan, atau pada plasenta dari janin donor pada sindrom transfuse
antar kembar.
c.
Pita Amnion
Pita amnion
(amnionic bands) terbentuk apabila
terjadi kerusakan amnion yang kemudian menyebabkan terbentuknya pita-pita atau
tali-tali yang melekat ke janin dan menggangu pertumbuhan dan perkembangan
sturktur terkait. Beberapa kelainan yang tampaknya ditimbulkan oleh fenomena
ini termasuk amputasi intra uterus (F. Gary Cunningham, 2005: 907-909).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kelainan Air Ketuban adalah suatu keadaan dimana
jumlah air ketuban jauh lebih banyak dari normal, biasanya lebih dari 2 liter.
Saat usia kehamilan 25-26
minggu, jumlahnya rata-rata 239 ml. Lalu meningkat menjadi ±984 ml pada usia
kehamilan 33-34 minggu dan turun menjadi 836 ml saat janin siap lahir.
Macam-macam kelainan air ketuban yaitu :
1.
Ketuban Pecah Dini/Pecah
Sebelum Waktunya, yaitu pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan. Hal ini
dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan.
2.
Polihydramnion atau
Hydramnion sebagai suatu keadaan dimana jumlah air ketuban melebihi 2 liter.
Sedangkan secara klinis adalah penumpukan cairan ketuban yang berlebihan
sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman pada pasien.
3. Oligohidramnion
didefinisikan sebagai cairan aminion < 200 ml pada kehamilan aterm (Thomas
Rabe, 2002: 150), atau suatu keadaan dimana air ketuban kurang dari normal,
yaitu <1/2 liter (Rustam Mochtar, 1998: 251).
4. Hydrops Fetalis Non Imun, yaitu merupakan keadaan dimana terjadi akumulasi cairan
ekstraseluler tanpa disertai adanya antibodi yang menyerang antigen sel darah
merah dalam sirkulasi. Akumulasi CES ini terjadi dalam jaringan dan rongga
serosa.
Selain itu terdapat pula kelainan korioamnion,
yang terdiri atas :
1. Pencemaran mekonium.
2. Korioamnionitis, yaitu peradangan ketuban biasanya berkaitan dengan pecah
ketuban lama dan persalinan lama.
3. Kelainan lain (kista amnion, amnionodosum, dan pita amnion).
DAFTAR
PUSTAKA
Cunningham, Gary. Kelainan
Air Ketuban pada Kehamilan. Newyork. 2005: 907-909.
Nugroho, Taufan. Patologi
Kehamilan. 2010: 8-9.
Rabe, Thomas dkk. Kelainan
Air ketuban. USA. 2002: 150.
www.google.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah berkunjung ke blog saya. Silahkan share dan comment. Semoga bermanfaat untuk Anda, Terima Kasih...!