Selasa, 23 September 2014

Kelainan pada air ketuban

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Salah satu poin yang harus menjadi perhatian pada saat melahirkan adalah air ketuban. Mengapa? Karena air ketuban yang bermasalah ternyata dapat berakibat buruk bagi bayi Anda.
Perlu Anda ketahui bahwa air ketuban dapat mencemari bayi saat dilahirkan. Kondisi ini dalam bahasa medis dinamakan Meconium Aspiration Syndrome (MAS). Kejadian ini terjadi saat momen berjuangnya bayi untuk keluar dari rahim ibu.
Di saat kepala bayi keluar, kemungkinan pada mulut atau hidung bayi terdapat sisa air ketuban. Cairan ketuban tersebut dapat menimbulkan bahaya pada bayi bila tertelan, apalagi jika air ketuban telah kadaluarsa saat kehamilan melebihi usia 40 minggu. Ciri dari ketuban yang telah kadaluarsa biasanya berwarna keruh hijau, cokelat, bahkan hitam.
Potensi terjadinya MAS ternyata cukup besar, karena hal ini bisa juga terjadi akibat janin kekurangan oksigen ketika di dalam rahim. Bisa juga disebabkan sang ibu memderita diabetes melitus, penyakit jantung atau hipertensi.
Usia kehamilan yang terus bertambah sangat mempengaruhi komposisi dari cairan ketuban. Apalagi bertambahnya usia juga membuat aktivitas organ janin semakin besar. Hal ini menyebabkan jumlah air ketuban mengalami perubahan dari minggu ke minggu, dapat berkurang atau bertambah.
Biasanya saat kehamilan memasuki usia 25-26 minggu, volume rata-rata air ketuban 239 ml, kemudian akan bertambah menjadi + 984 ml saat berada pada usia 33-34 minggu. Air ketuban pun akan semakin berkurang saat menjelang kelahiran, dengan volume 836 ml.
Walaupun begitu, air ketuban harus berada pada volume yang cukup supaya dapat menjamin terpenuhinya nutrisi dan oksigen bagi janin. Salah satu ciri air ketuban yang seimbang adalah tidak berwarna keruh.


B.    Tujuan
1.  Untuk mengetahui fungsi dari air ketuban.
2.  Untuk mengetahui mengenai jenis-jenis kelainan air ketuban.
3.  Untuk mengetahui etiologi, komplikasi, diagnosa, dan penatalaksanaan dari kelainan air ketuban pada kehamilan.


















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian
Kelainan Air Ketuban adalah suatu keadaan dimana jumlah air ketuban jauh lebih banyak dari normal, biasanya lebih dari 2 liter.
Air ketuban tak bisa dipisahkan dari kehidupan janin. Mengapa? Ditinjau dari fungsinya, cairan ini sangat penting untuk melindungi pertumbuhan dan perkembangan janin, yaitu menjadi bantalan untuk melindungi janin terhadap trauma dari luar, menstabilkan perubahan suhu, pertukaran cairan, sarana yang memungkinkan janin bergerak bebas, sampai mengatur tekanan dalam rahim. Tidak hanya itu air ketuban juga berfungsi melindungi janin dari infeksi.
Air ketuban yang volumenya cukup, tidak berwarna keruh, berfungsi menjamin kecukupan nutrisi dan oksigen untuk si janin. Namun sebaliknya, kelebihan atau kekurangan cairan ketuban akan mengganggu fungsi yang dapat menimbulkan komplikasi pada ibu ataupun janin.

B. Kondisi Normal
Seiring pertambahan usia kehamilan, aktivitas organ tubuh janin mempengaruhi komposisi cairan ketuban. Jumlah air ketuban tidak terus sama dari minggu ke minggu kehamilan. Jumlah itu pun akan bertambah atau berkurang sesuai perkembangan kehamilan.
Saat usia kehamilan 25-26 minggu, jumlahnya rata-rata 239 ml. Lalu meningkat menjadi ±984 ml pada usia kehamilan 33-34 minggu dan turun menjadi 836 ml saat janin siap lahir.

C. Kelainan Air Ketuban
1.  Ketuban Pecah Dini / Ketuban Pecah Sebelum Waktunya
a.  Definisi
Ada teori yang menghitung berapa jam sebelum in partu, misalnya 2 atau 4 atau 6 jam sebelum in partu. Ada juga yang menyatakan dalam ukuran pembukaan serviks pada kala I, misalnya ketuban yang pecah sebelum pembukaan serviks 3 cm atau 5 cm, dan sebagainya. Prinsipnya adalah ketuban yang pecah “sebelum waktunya”. Normal selaput ketuban pecah pada akhir kala I atau awal kala II persalinan. Bisa juga belum pecah sampai saat mengedan, sehingga kadang perlu dipecahkan (amniotomi).
Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan. KPD preterm adalah KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu. KPD yang memanjang adalah KPD yang terjadi lebih dari 12 jam sebelum waktunya melahirkan.
Kejadian KPD berkisar 5-10% dari semua kelahiran, dan KPD preterm terjadi 1% dari semua kehamilan. 70% kasus KPD terjadi pada kehamilan cukup bulan. KPD merupakan penyebab kelahiran prematur sebanyak 30%.
b.  Etiologi
1)  Penyebab dari KPD tidak atau masih belum diketahui secara jelas maka usaha preventif tidak dapat dilakukan, kecuali dalam usaha menekan infeksi.
2)  Adanya hipermotilitas yang sudah lama terjadi sebelum terjadinya KPD.
3)  Selaput ketuban tipis (kelainanketuban).
4)  Infeksi (amnionitisataukorioamnionitis).
5)  Faktor–faktor lain yang merupakan predisposisi (multipara, malposisi, disproporsi, dan cervikinkompeten).
6)  Ketuban pecah dini artificial (amniotomi) dimana ketuban dipecahkan terlalu dini.
7)  Inkompetensi serviks : kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada servik uteri.
8)  Infeksi vagina/serviks.
9)  Kehamilan ganda.
c.  Tanda dan Gejala
Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina. Aroma air ketuban berbau manis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna darah. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran. Tetapi bila Anda duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya “mengganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk sementara.
Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi.
d.  Diagnosa
Secara klinik diagnosa ketuban pecah dini tidak sukar dibuat anamnesa pada klien dengan keluarnya air seperti kencing dengan tanda-tanda yang khas sudah dapat menilai itu mengarah ke ketuban pecah dini. Untuk menentukan betul tidaknya ketuban pecah dini bisa dilakukan dengan cara :
1)     Adanya cairan yang berisi mekonium (kotoran janin), verniks kaseosa (lemak putih) rambut lanugo atau (bulu-bulu halus) bila telah terinfeksi bau.
2)     Pemeriksaan inspekulo, lihat dan perhatikan apakah memang air ketuban keluar dari kanalis servikalis pada bagian yang sudah pecah, atau terdapat cairan ketuban pada forniks posterior.
3)     USG : volume cairan amnion berkurang/oligohidramnion.
4)     Terdapat infeksi genital (sistemik).
5)     Gejala chorioamnionitis.
6)     Maternal : Demam (dan takikardi), uterine tenderness, cairan amnion yang keruh dan berbau, leukositosis (peningkatan sel darah putih) meninggi, leukosit esterase (LEA) meningkat, kultur darah/urin.
7)     Fetal : takikardi, kardiotokografi, profilbiofisik, volume cairan ketuban berkurang.
8)     Cairan amnion : Tes cairan amnion, diantaranya dengan kultur/gram stain, fetal fibronectin, glukosa, leukosit esterase (LEA) dan sitokin.

Jika terjadi chorioamnionitis maka angka mortalitas neonatal 4x lebih besar, angka respiratory distress, neonatal sepsis dan pardarahan intraventrikuler 3x lebih besar.
1)     Dilakukan tes valsava, tes nitrazin dan tes fern.
Normal pH cairan vagina 4,5-5,5 dan normal pH cairan amnion  7.0-7.5
2)     Dilakukan uji kertas lakmus/nitrazine test .
a)    Jadi biru (basa)            : air ketuban.
b)    Jadi merah (asam)       : air kencing
Diagnosa banding
Gejala dan tanda selalu
Ada
Gejala dan tanda kadang-
kadang ada
Diagnosis
kemungkinan
Keluar cairan ketuban
-Ketuban pecah tiba-tiba
-Cairan tanpa diintroitus
-Tidak ada his dalam 1 jam
Ketuban pecah
dini
- Cairan vagina berbau
- Demam/menggigil
- Nyeri perut
-Riwayat keluarnya cairan
-Uterus nyeri
-Denyut jantung janin cepat
-Perdarahan pervaginam
Sedikit
Amnionitis
- Cairan vagina berbau
- Tidak ada      riwayat
ketuban pecah
-Gatal
-Keputihan
-Nyeri perut
-Perdarahan pervaginam
Sedikit
Infeksi Vaginitis
Servicitis
Cairan vagina berdarah
-Nyeri perut
-Gerakan janin berkurang
-Perdarahan banyak
Perdarahan
antepartum
Cairan  berupa darah
Lendir
-Pembukaan servik
-Pendataran servik
-Ada his
Awal persalinan
e.  Komplikasi
Komplikasi paling sering terjadi pada KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu adalah sindrom distress pernapasan, yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir. Risiko infeksi meningkat pada kejadian KPD. Semua ibu hamil dengan KPD prematur sebaiknya dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya korioamnionitis (radang pada korion dan amnion). Selain itu kejadian prolaps atau keluarnya tali pusar dapat terjadi pada KPD.
Risiko kecacatan dan kematian janin meningkat pada KPD preterm. Hipoplasia paru merupakan komplikasi fatal yang terjadi pada KPD preterm.  Kejadiannya mencapai hampir 100% apabila KPD preterm ini terjadi pada usia kehamilan kurang dari 23 minggu.
1)  Pada anak :
a)    IUFD.
b)    Asfiksia.
c)    Prematuritas.
2)  Pada ibu
a)    Partus lama dan infeksi.
b)    Atonia uteri.
c)    Perdarahan post partum / infeksi masa nifas.
f.    Penatalaksanaan
1)    Penatalaksanaan ketuban pecah dini tergantung pada umur kehamilan dan tanda infeksi intrauterine.
2)    Pada umumnya lebih baik untuk membawa semua pasien dengan KPD ke RS dan melahirkan bayi yang berumur > 37 minggu dalam 24 jam dari pecahnya ketuban untuk memperkecil resiko infeksi intrauterine.
3)    Tindakan konservatif (mempertahankan kehamilan) diantaranya pemberian antibiotik dan cegah infeksi (tidak melakukan pemeriksaan dalam), tokolisis, pematangan paru, amnioinfusi, epitelisasi (vit C dan trace element, masih kontroversi), fetal and maternal monitoring. Tindakan aktif (terminasi/mengakhiri kehamilan) yaitu dengan sectio caesarea (SC) atau pun partus pervaginam.
4)    Dalam penetapan langkah penatalaksanaan tindakan yang dilakukan apakah langkah konservatif ataukah aktif, sebaiknya perlu mempertimbangkan usia kehamilan, kondisi ibu dan janin, fasilitas perawatan intensif, kondisi, waktu dan tempat perawatan, fasilitas/kemampuan monitoring, kondisi/status imunologi ibu dan kemampuan finansial keluarga.
5)    Untuk usia kehamilan <37 minggu dilakukan penanganan konservatif dengan mempertahankan kehamilan sampai usia kehamilan matur.
6)    Untuk usia kehamilan 37 minggu atau lebih lakukan terminasi dan pemberian profilaksis streptokokkus grup B. Untuk kehamilan 34-36 minggu lakukan penatalaksanaan sama halnya dengan aterm.
7)    Untuk usia kehamilan 32-33 minggu lengkap lakukan tindakan konservatif/expectant management kecuali jika paru-paru sudah matur (maka perlu dilakukan tes pematangan paru), profilaksis streptokokkus grup B, pemberian kortikosteroid (belum ada konsensus namun direkomendasikan oleh para ahli), pemberian antibiotik selama fase laten.
8)    Untuk previable preterm (usia kehamilan 24-31 minggu lengkap) lakukan tindakan konservatif, pemberian profilaksis streptokokkus grup B, single-course kortikosteroid, tokolisis (belum ada konsensus) dan pemberian antibiotik selama fase laten (jika tidak ada kontraindikasi).
9)    Untuk non viable preterm (usia kehamilan <24 minggu), lakukan koseling pasien dan keluarga, lakukan tindakan konservatif atau induksi persalinan, tidak direkomendasikan profilaksis streptokokkus grup B dan kortikosteroid, pemberian antibiotik tidak dianjurkan karena belum ada data untuk pemberian yang lama).
10) Rekomendasi klinik untuk PROM, yaitu pemberian antibiotik karena periode fase laten yang panjang, kortikosteroid harus diberikan antara 24-32 minggu (untuk mencegah terjadinya resiko perdarahan intraventrikuler, respiratory distress syndrome dan necrotizing examinations),tidak boleh dilakukan digital cervical examinations jadi pilihannya adalah dengan spekulum, tokolisis untuk jangka waktu yang lama tidak diindikasikan sedangkan untuk jangka pendek dapat dipertimbangkan untuk memungkinkan pemberian kortikosteroid, antibiotik dan transportasi maternal, pemberian kortikosteroid setelah 34 minggu dan pemberian multiple course tidak direkomendasikan.
11) Pematangan paru dilakukan dengan pemberian kortikosteroid yaitu deksametason 2×6 mg (2 hari) atau betametason 1×12 mg (2 hari).
12) Agentokolisis yaitu B2 agonis (terbutalin, ritodrine), calsium antagonis (nifedipine), prostaglandin sintase inhibitor (indometasin), magnesium sulfat, oksitosin antagonis (atosiban).
13) Tindakan epitelisasi masih kotroversial, walaupun vitamin C dan trace element terbukti berhubungan dengan terjadinya.
14) ketuban pecah terutama dalam metabolisme kolagen untuk maintenance integritas membran korio-amniotik, namun tidak terbukti menimbulkan epitelisasi lagi setelah terjadi PROM.
15) Tindakan terminasi dilakukan jika terdapat tanda-tanda chorioamnionitis, terdapat tanda-tanda kompresi tali pusat/janin (fetal distress) dan pertimbangan antara usia kehamilan, lamanya ketuban pecah dan resiko menunda persalinan.
16) KPD pada kehamilan < 37 minggu tanpa infeksi, berikan antibiotik eritromisin 3×250 mg, amoksisillin 3×500 mg dan kortikosteroid.
17) KPD pada kehamilan  > 37 minggu tanpa infeksi (ketuban pecah >6 jam) berikan ampisillin 2×1 gr IV dan penisillin G 4×2 juta IU, jika serviks matang lakukan induksi persalinan dengan oksitosin, jika serviks tidak matang lakukan SC.
18) KPD dengan infeksi (kehamilan <37 ataupun > 37 minggu), berikan antibiotik ampisillin 4×2 gr IV, gentamisin 5 mg/KgBB, jika serviks matang lakukan induksi persalinan dengan oksitosin, jika serviks tidak matang lakukan SC.
2.  Polihydramnion atau Hydramnion
a.  Definisi
1)  Cairan amnion >2000 ml pada kehamilan aterm. (Thomas Rabe, 2002: 150).
2)  Hidramnion adalah suatu jumlah cairan amnion yang berlebihan (lebih dari 2000 ml). Normal volume cairan amnion meningkat secara bertahap selama kehamilan dan mencapai puncaknya kira-kira 1000 ml antara 34 sampai 36 minggu. (Ben-Zion Taber, 1994: 39).
3)  Polihidramnion (hidramnion) didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana jumlah air ketuban melebihi 2 liter. Sedangkan secara klinis adalah penumpukan cairan ketuban yang berlebihan sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman pada pasien.
b.  Klasifikasi
1)  Hidramnion Kronis
Penambahan air ketuban perlahan-lahan, berangsur-angsur dalam beberapa minggu atau bulan, dan biasanya terjadi pada kehamilan lanjut.
2)  Hidramnion Akut
Penambahan air ketuban terjadi sangat tiba-tiba dan cepat dalam beberapa hari. Biasanya terjadi pada kehamilan muda pada bulan ke-4 atau ke-5 (Sastrawinata Sulaiman, 2004: 39).
c.  Etiologi
1)  Mekanisme terjadi hidramnion hanya sedikit yang diketahui. Secara teori hidramnion terjadi karena :
a)  Produksi air ketuban bertambah, yang diduga menghasilkan air ketuban adalah epitel amnion, tetapi air ketuban juga dapat bertambah karena cairan lain masuk ke dalam ruangan amnion, misalnya air kencing anak atau cairan otak pada anencephalus.
b)  Pengaliran air ketuban terganggu, air ketuban yang telah dibuat dialirkan dan diganti dengan yang baru. Salah satu jalan pengaliran adalah ditelan oleh janin.
2)  Pendapat ahli yang lain mengatakan hidramnion terjadi karena:
a)  Produksi air jenih berlebih.
b)  Ada kelainan pada janin yang menyebabkan cairan ketuban menumpuk, yaitu hidrocefalus, astresia saluran cerna, kelainan ginjal dan saluran kencing congenital.
c)  Ada sumbatan/ penyempitan pada janin sehingga dia tidak bias menelan air ketuban. Alhasil volume ketuban meningkat drastic.
d)  Kehamilan kembar, karena adanya dua janin yang menghasilkan air seni.
e)  Ada proses infeksi.
f)   Ada hambatan pertumbuhan atau kecacatan yang menyangkut system syaraf pusat sehingga fungsi gerakan menelan mengalami kelumpuhan.
g)  Ibu hamil mengalami diabetes yang tidak terkontrol.
h)  Ketidakcocokan/ inkompatibilitas rhesus (Taufan Nugroho, 2010: 3).
Menurut (Ben-zein Taber, 1994: 231) etiologi dari hidramnion adalah sebagai berikut :
a.  Malformasi janin, seperti defek tabung syaraf, anensefalus, atresia esophagus, atau fistula dan atresia usus.
b.  Patologi plasenta.
c.   Diabetes.
d.  Eritroblastosis fetalis. Apabila seorang wanita Rhesus negatif hamil dan melahirkan anak dari suami yang Rhesus positif, tidak selalu terjadi imunisasi (sensitisasi terhadap tubuh ibu untuk membentuk antibodi/ aglutinin). Kemungkinan imunisasi hanya 10%. Hal ini karena,
1)  Ketidakmampuan tubuh ibu membentuk antibodi/ aglutinin.
2)  Terdapat inkompatibilitas golongan darah A, B, O antara ibu dan janin.

Ada 3 bentuk klinis:
1)  Anemia gravis neonaturum.
2)  Icterus gravis neonaturum.
3)  Hydrops fetalis.

Diagnosis
1)  Antepartum
a)  Riwayat kehamilan.
b)  Ibu Rhesus (-).
c)  Ayah Rhesus (+).
d)  Coombs test langsung.
e)  Rontgenologi.
f)   Amniosintesis.
2)  Postpartum
a)  Immunologi.
b)  Ibu Rhesus (-).
c)  Bayi Rhesus (+).
d)  Coombs test langsung dan tak langsung pada ibu.

Klinis bayi :
1)  Pucat.
2)  Hepatosplenomegali.
3)  Kurang aktif, malas minum.
4)  Spasmus otot, kejang.
5)  Dekompensasi kordis/syok.

Hematologi bayi :
1)  Hemoglobin rendah.
2)  Hiperbilirubinemia.
3)  Eritoblastosis.
4)  Reticulositosis.

Penatalaksanan tergantung pada :
1)    Anamnesa kematian anak sebelumnya.
2)    Diagnosis ante dan post partum.
3)    Umur kehamilan.
4)    Beratnya penderitaan.
Pada janin dapat diberikan :
1)    Tranfusi intrauterine pada umur kehamilan 26-30 minggu.
2)    Jika terjadi hydrops fetalis tidak dapat diselamatkan (FK. UMY, 2008: 190-191).
d.  Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala polihidramnion adalah sebagai berikut :
1)    Pembesaran uterus, lingkar abdomen dan tinggi fundus uteri jauh melebihi ukuran yang diperirakan untuk usia kehamilan.
2)    Dinding uterus tegang sehingga pada auskultasi bunyi detak jantung janin sulit atau tidak terdengar dan pada palpasi bagian kecil dan besar tubuh janin sulit ditentukan.
3)    Ada thrill pada cairan uterus.
4)    Masalah-masalah mekanis. Apabila polihidramnion berat, akan timbul dispnea, edema pada vulva dan ekstremitas bawah; nyeri tekan pada punggung, abdomen dan paha; nyeri ulu hati, mual dan muntah.
5)    Letak janin sering berubah (letak janin tidak stabil). (Helen Varney, 2006: 634).
e.  Diagnosis
1)    Anamnesis
a)    Perut lebih besar dan terasa lebih berat dari biasa.
b)    Pada yang ringan keluhan-keluhan subyektif tidak banyak.
c)    Pada yang akut dan pada pembesaran uterus yang cepat terdapat keluhan-keluhan.
d)    Nyeri perut karena tegangnya uterus mual dan muntah.
e)    Oedema pada tungkai, vulva dan dinding perut.
f)     Pada proses akut dan perut besar sekali, bisa syok, berkerigat dingin, sesak.
2)    Inspeksi
a)    Kelihatan perut sangat buncit dan tegang, kulit perut berkilat, retak-retak kulit jelas dan kadang-kadang umbilikus mendatar.
b)    Jika akut, ibu akan terlihat sesak dan sianosis serta terlihat payah membawa kandungannya.
3)    Palpasi
a)    Perut tegang dan nyeri tekan serta terjadi oedema pada dinding perut vulva dan tungkai.
b)    Fundus uteri lebih tinggi dari tuanya kehamilan sesungguhnya.
c)    Bagian-bagian janin sukar dikenali karena banyaknya cairan.
d)    Kalau pada letak kepala, kepala janin bias diraba, maka balloterment jelas sekali. Karena bebasnya janin bergerak dan kepala tidak terfiksir, maka dapat terjadi kesalahan-kesalahan letak janin.
4)    Auskultasi
Denyut jantung janin tidak terdengar atau jika terdengar sangat halus sekali.
5)    Pemeriksaan Penunjang
a)    Foto Rontgen
1.    Nampak bayangan terselubung kabur karena banyaknya cairan, kadang-kadang banyak janin tidak jelas.
2.    Foto rontgen pada hidramnion berguna untuk diagnose dan untuk menentukan etiologi, seperti anomaly congenital (anensefali atau gamelli).
b)    Ultrasonografi
1.    Banyak ahli mendefinisikan hidramnion bila index cairan amnion (ICA) melebihi 24-25 cm pada pemeriksaan USG.
2.    Dari pemeriksaan USG, hidramnion terbagi menjadi :
a.    Mild hydramnion (hidramnion ringan), bila kantung amnion mencapai 8-11 cm dalam dimensi vertikal. Insiden sebesar 80% dari semua kasus yang terjadi.
b.    Moderate hydramnion (hidramnion sedang), bila kantung amnion mencapai 12-15 cm dalamnya. Insiden sebesar 15%.
c.    Severe hydramnion (hidramnion berat), bila janin ditemukan berenang dengan bebas dalam kantung amnion yang mencapai 16 cm atau lebih besar. Insiden sebesar 5% .
3.    Diagnosa banding
a.    Gemelli (kembar).
b.    Asites (pengumpulan cairan serosa dalam rongga perut).
c.    Kista ovarium.
d.    Kehamilan dengan tumor.
6)    Pemeriksaan dalam.
Selaput ketuban teraba tegang dan menonjol walaupun diluar his.
f.    Prognosis
1)    Pada janin, prognosanya agak buruk (mortalitas kurang lebih 50%) terutama karena (Taufan Nugroho, 2010: 7-8):
a)    Congenital anomaly.
b)    Prematuritas.
c)    Komplikasi karena kesalahan letak anak, yaitu pada letak lintang atau tali pusat menumbung.
d)    Eritroblastosis.
e)    Diabetes mellitus.
f)     Solution placenta jika ketuban pecah tiba-tiba.
2)    Pada ibu :
a)    Solutio placenta.
b)    Atonia uteri.
c)    Perdarahan post partum.
d)    Retention placenta.
e)    Syok.
f)     Kesalahan-kesalahan letak janin menyebabkan partus jadi lama dan sukar.
g.  Penatalaksanaan
Terapi hidramnion dibagi dalam tiga fase (Taufan Nugroho, 2010: 8-9):
1)    Waktu hamil (di BKIA).
a)    Hidramnion ringan jarang diberi terapi klinis, cukup diobservasi dan berikan terapi simptomatis.
b)    Pada hidramnion yang berat dengan keluhan-keluhan, harus dirawat di rumah sakit untuk istirahat sempurna.
1.    Berikan diet garam.
2.    Obat-obatan yang dipakai adalah sedative dan obat dieresis.
3.    Bila sesak hebat sekali disertai sianosis dan perut tegang, lakukan fungsi abdominal pada bawah umbilicus. Dalam satu hari dikeluarkan 500 cc perjam sampai keluhan berkurang.
4.    Jika cairan dikeluarkan dikhawatirkan terjadi his dan solution placenta, apalagi bila anak belum viable.
5.    Komplikasi pungsi dapat berupa :
a.Timbul his.
b.Trauma pada janin.
c. Terkenanya rongga-rongga dalam perut oleh tusukan.
d.Infeksi serta syok, bila sewaktu melakukan aspirasi keluar darah, umpamanya janin mengenai plasenta, maka pungsi harus dihentikan.
2)    Waktu partus.
a)    Bila tidak ada hal-hal yang mendesak, maka sikap kita menunggu.
b)    Bila keluhan hebat, seperti sesak dan sianosis maka lakukan pungsi transvaginal melalui serviks bila sudah ada pembukaan. Dengan memakai jarum pungsi tusuklah ketuban pada beberapa tempat, lalu air ketuban akan keluar pelan-pelan.
c)    Bila sewaktu pemeriksaan dalam, ketuban tiba-tiba pecah, maka untuk menghalangi air ketuban mengalir keluar dengan deras, masukkan tinju ke dalam vagina sebagai tampon beberapa lama supaya air ketuban keluar pelan-pelan. Maksud semua ini adalah supaya tidak terjadi solution placenta, syok karena tiba-tiba perut menjadi kosong atau perdarahan post partum karena atonia uteri.
3)    Post partum.
a)    Harus hati-hati akan terjadinya perdarahan post partum, jadi sebaiknya lakukan pemeriksaan golongan dan transfuse darah serta sediakan obat uterotronika.
b)    Untuk berjaga-jaga pasanglah infuse untuk pertolongan perdarahan post partum.
c)    Jika perdarahan banyak, dan keadaan ibu setelah partus lemah, maka untuk menghindari infeksi berikan antibiotika yang cukup.
Pengobatan :
a.  Bentuk kronis : obati penyebab yang mendasarinya (misalnya, diabetes).
b.  Bentuk akut : umumnya membutuhkan persalinan dengan drainase lambat selama 6-8 jam untuk menghindari solusio plasenta beresiko menginduksi kontraksi. Jika pecah kantong amnion terjadi didaerak serviks, hati-hati terjadi prolapsus tali pusat.
c.   Bentuk idiopatik : indometasin 3 mg/ kg perhari. (Thomas Rabe, 2002: 150).
h.  Komplikasi
1)    Obstruksi ureterik maternal.
2)    Peningkatan mobilitas janin yang mengakibatkan letak tidak stabil dan malpresentasi.
3)    Presentasi dan prolaps tali pusat.
4)    Ketuban pecah dini.
5)    Abrupsio plasenta saat ketuban pecah.
6)    Kelahiran premature.
7)    Peningkatan insiden seksio cesarean.
8)    Perdarahan pasca partum.
9)    Peningkatan angka kematian perinatal (Diane M. Fraser, 2009: 308).
3.  Oligohidramnion
a.  Definisi
1)  Cairan aminion < 200 ml pada kehamilan aterm (Thomas Rabe, 2002: 150).
2)  Suatu keadaan dimana air ketuban kurang dari normal, yaitu <1/2 liter (Rustam Mochtar, 1998: 251).
3)  Jumlah cairan aminon yang terlalu sedikit (Diane M. Fraser, 2009: 309).
4)  Menunjukkan pengukuran jumlah cairan amnion yang tidak memungkinkan fetus untuk cukup bergerak inutero (Sylvia Veralls, 1997: 253).
b.  Etiologi
Oligohidramnion kadang terjadi pada kehamilan lebih bulan dan diyakini berkaitan dengan insufisiensi plasenta. Jika fungsi plasenta berkurang, perfusi ke system organ janin juga akan berkurang, termasuk ke ginjal. Penurunan pembentukan urin janin menyebabkan oligohidramnion plasenta (Diane M. Fraser, 2009: 309).
c.  Penyebab
1)  Anomaly congenital (misal; agenesis ginjal, sindrom potter).
2)  Penyakit virus.
3)  Intra Uterine Growth Retardation (IUGR).
4)  Insufiensi uteroplasenta.
5)  Pecah ketuban dini (minggu ke-24 sampai ke-26).
6)  Meresponi indosin sebagai suatu tokolitik.
7)  Hipoksia janin.
8)  Aspirasi mekonium dan cairan yang bercampur mekonium.
9)  Sindrom pascamatur.
d.  Tanda dan gejala
1)  Perut ibu kelihatan kurang membuncit.
2)   “Molding” uterus mengelilingi janin.
3)  Denyut jantung janin sudah terdengar lebih dini dan lebih jelas.
4)  Janin dapat diraba dengan mudah.
5)  Tidak ada efek pantul (ballottement) pada janin.
6)  Ibu merasa nyeri di perut pada setiap gerakan anak.
7)  Penambahan tinggi fundus uteri berlangsung lambat (Helen Varney, 2006: 635).
8)  Persalinan lebih lama dari biasanya.
9)  Sewaktu his/mules akan terasa sakit sekali.
10)  Bila ketuban pecah, air ketuban akan sedikit sekali bahkan tidak ada yang keluar.
11)  Sering berakhir dengan partus prematurus.
e.    Penatalaksanaan
Ibu mungkin akan dibawa ke rumah sakit. Jika pemindahan ultrasound menunjukan adanya agenesis renal, bayi tidak akan bertahan hidup. Pemeriksaan selanjutnya adalah mengenai kemungkinan adanya ketuban pecah dini yang pernah dialami ibu dan tes fungsi plasenta (Diane M. Fraser, 2009: 309).
4.  Hydrops Fetalis Non Imun
a.  Definisi
Merupakan keadaan dimana terjadi akumulasi cairan ekstraseluler tanpa disertai adanya antibodi yang menyerang antigen sel darah merah dalam sirkulasi. Akumulasi CES ini terjadi dalam jaringan dan rongga serosa.
b.  Etiologi
1)  Kelainan kardiovaskuler : aritmia, congestive heart failure.
2)  Idiopatik.
3)  Kelainan kromosom : trisomi 21, turner’s syndrome, trisomi 13, 16, 18. Mekanisme terjadinya karena kelainan kardiovaskuler.
4)  Higroma.
5)  Kelainan hematologi : ά thalasemia major yang disertai dengan anemia janin dan cardiac failure.
6)  Kelainan paru : cystic adenomatoid, hematoma pada dinding dada, hernia diafragma congenital.
7)  Infeksi : pavovirus, rubella, HIV, toxoplasma, CMV, sifilis.
8)  Lain-lain : kembar, displasia skelet, kelainan gastrointestinal.
c.  Diagnosis
USG adanya polihidramnion. Kulit edema, ascites, plasenta besar, efusi pleura, dan kardiomegali. Gejala paling menonjol pada umumnya adalah ascites dan ascites janin tidak dapat diketahui bila tidak dilakukan USG.
d.  Prognosis (Komplikasi)
Mortalitas perinatal sebesar 40-90% tergantung penyebabnya. Bila terdapat kelainan anatomi, prognosisnya jelek.
e.  Penanganan
Penanganan hydrops fetalis non imun bersifat individual tergantung penyebabnya dan pertimbangan orang tua. Bila kelainan berat dan bayi tidak mungkin hidup, maka dilakukan terminasi kehamilan. Jika bayi diperkitakan mampu hidup, maka penanganannya dilakukan sesuai dengan penyebab dan prognosisnya. Bila diperkirakan janin sudah cukup matang untuk dilahirkan, maka persalinan segera dilakukan. Amniosintesis dilakukan jika hidramnion menyebabkan sesak nafas dan untuk mengurangi risiko premature (FK. UMY, 2008 : 191-192).

D. Kelainan Korioamnion
1.  Pencemaran Mekonium
Janin preterm jarang mengeluarkan mekonium, dan mekonium mungkin sulit dibedakan dari pigmen-pigmen yang berasal dari hemolisis janin. Pengeluaran mekonium jarang terjadi sebelum minggu ke 38. Dan sebaliknya meningkat setelah masa gestasi 40 minggu. Pencemaran selaput amnion tampak nyata dalam satu sampai tiga jam setelah janin mengeluarkan mekonium. Walaupun pajanan yang lebih lama menyebabkan pencemaran korion, tali pusat, dan desidua, hal ini tidak dapat di tentukan lamanya secara akurat.
Secara umum, keluarnya mekonium berkaitan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas perinatal. Mortalitas neonatus akibat mekonium terutama disebabkan oleh aspirasi mekonium yang kental dan lengket.
2.  Korioamnionitis
Peradangan selaput janin adalah manifestasi dari suatu infeksi intra uterus, dan sering disebabkan oleh ketuban pecah lama dan partus lama. Apabila korion diinfiltrasi oleh leukosit polimorfonuklear dan mononuclear, temuan mikroskopis yang terjadi menandakan korioamnionitis. Apabila sel-sel tersebut ditemukan dicairan amnion, temuannya disebut amnionitis. Peradangan tali pusat disebut funisitis dan infeksi plasenta bermanifestasi sebagai vilitis. Sebelum minggu ke 20, hampir semua leukosit polimorfonuklear berasal dari ibu, tetapi selanjutnya respon peradangan terutama berasal dari janin.
Penatalaksanaan korioamnionitis adalah pemberian anti mikroba dan pimpinan kelahiran yang baik. Korioamnionitis adalah peradangan ketuban biasanya berkaitan dengan pecah ketuban lama dan persalinan lama. Korioamnionistis tersamar (“silent”), yang disebabkan oleh beragam organism, baru-baru ini muncul sebagai salah satu penjelasan kasus-kasus pecah ketuban, persalinan premature, atau keduanya. Korioamnionitis meningkatkan morbiditas neonates secara bermakna. Secraa spesifik, sepsis neonates, distress pernafasan, perdarahan intraventrikel, kejang, leukomalasia periventrikel, dan palsi serebral lebih sering terjadi pada bayi yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis.
Korioamnionitis secara klinis bermanifestasi sebagai demam pada ibu dengan suhu 380C atau lebih, biasanya berkaitan dengan pecah ketuban.
Penatalaksanaan korioamnionitis terdiri atas pemberian anti mikroba, anti piretik dan pelahiran janin, sebaiknya melalui vagina. Terapi antibiotic harus dapat memberi perlindungan terhadap lingkungan oleh mikroba yang terdapat di vagina dan servik. Salah satu regimen korioamnionitis adalah ampisilin, 2 gr intravena setiap 6 jam, dan gentamisin, 2 mg/kg dosis awal serta selanjutnya 1,5 mg/kg intravena setiap 8 jam. Lindamisin, 900 mg setiap 8 jam, digunakan untuk wanita yang alergi terhadap penisilin. Berbagai regimen anti mikroba spectrum luas lainnya juga dapat digunakan. Antibiotic biasanya dilanjutkan setelah persalinan sampai wanita yang bersangkutan tidak demam.
3.  Kelainan Lain
a.  Kista Amnion
Kadang-kadang terbentuk banyak kista amnion kecil yang dilapisi oleh epitel amnion yang khas. Hal ini biasanya muncul akibat fusi lipatan-lipatan amnion yang kemudian diikuti oleh retensi cairan.
b.  Amnionodosum
Adalah nodus-nodus di amnion yang kadang-kadang disebut metaplasma amnioskuamosa atau kurunkula amnion. Nodus-nodus ini peling sering dijumpai dibagian amnion yang berkontak dengan lempeng korion, walupun dapat ditemukan juga di tempat lain. Nodus-nodus biasanya muncul di dekat insersi tali pusat sebagai elevasi opak kuning keabu-abuan yanag berkisar dengan diameter 1 sampai 5 mm. nodus-nodus terdiri dari debris ectoderm janin, termasuk fernik kaseosa disertai rambut, skuama, dan sebum. Kelainan ini berkaitan dengan oligohidramnion dan paling sering dijumpai pada janin dengan agenesis ginjal atau ketuban pecah dini berkepanjangan, atau pada plasenta dari janin donor pada sindrom transfuse antar kembar.
c.  Pita Amnion
Pita amnion (amnionic bands) terbentuk apabila terjadi kerusakan amnion yang kemudian menyebabkan terbentuknya pita-pita atau tali-tali yang melekat ke janin dan menggangu pertumbuhan dan perkembangan sturktur terkait. Beberapa kelainan yang tampaknya ditimbulkan oleh fenomena ini termasuk amputasi intra uterus (F. Gary Cunningham, 2005: 907-909).















BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Kelainan Air Ketuban adalah suatu keadaan dimana jumlah air ketuban jauh lebih banyak dari normal, biasanya lebih dari 2 liter.
Saat usia kehamilan 25-26 minggu, jumlahnya rata-rata 239 ml. Lalu meningkat menjadi ±984 ml pada usia kehamilan 33-34 minggu dan turun menjadi 836 ml saat janin siap lahir. Macam-macam kelainan air ketuban yaitu :
1.    Ketuban Pecah Dini/Pecah Sebelum Waktunya, yaitu pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan.
2.    Polihydramnion atau Hydramnion sebagai suatu keadaan dimana jumlah air ketuban melebihi 2 liter. Sedangkan secara klinis adalah penumpukan cairan ketuban yang berlebihan sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman pada pasien.
3.    Oligohidramnion didefinisikan sebagai cairan aminion < 200 ml pada kehamilan aterm (Thomas Rabe, 2002: 150), atau suatu keadaan dimana air ketuban kurang dari normal, yaitu <1/2 liter (Rustam Mochtar, 1998: 251).
4.    Hydrops Fetalis Non Imun, yaitu merupakan keadaan dimana terjadi akumulasi cairan ekstraseluler tanpa disertai adanya antibodi yang menyerang antigen sel darah merah dalam sirkulasi. Akumulasi CES ini terjadi dalam jaringan dan rongga serosa.
Selain itu terdapat pula kelainan korioamnion, yang terdiri atas :
1.    Pencemaran mekonium.
2.    Korioamnionitis, yaitu peradangan ketuban biasanya berkaitan dengan pecah ketuban lama dan persalinan lama.
3.    Kelainan lain (kista amnion, amnionodosum, dan pita amnion).


DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, Gary. Kelainan Air Ketuban pada Kehamilan. Newyork. 2005: 907-909.
Nugroho, Taufan. Patologi Kehamilan. 2010: 8-9.
Rabe, Thomas dkk. Kelainan Air ketuban. USA. 2002: 150.
www.google.com






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah berkunjung ke blog saya. Silahkan share dan comment. Semoga bermanfaat untuk Anda, Terima Kasih...!